Selasa, 28 Februari 2012

Undang-undang Perkawinan

Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1974
Tentang
Perkawinan
DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (1) dan pasal 29 Undang-undang Dasar 1945.
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973.
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
M E M U T U S K A N:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN. Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 1
BAB I DASAR PERKAWINAN

Pasal 1
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pasal 2
(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 3
(1) Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri.
Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.
(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. istri tidak dapat memnjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 2
(2) Persetujuan yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian;atau apabila tidak ada kaber dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
BAB II SYARAT-SYARAT PERKAWINAN

Pasal 6
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukun masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 7
(1) Perkawinan hanya diizinkan bila piha pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).

Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 3
a. berhubungan darah dalan garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau praturan lain yang berlaku dilarang kawin.

Pasal 9
Seorang yang terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan dalam Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 10
Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum, masing-masing agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 11
(1) Bagi seorang yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
(2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.

Pasal 12
Tata cara perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.

BAB III PENCEGAHAN PERKAWINAN

Pasal 13
Perkawinan dapat dicegah apabila ada orang yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Pasal 14
(1) Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
(2) Mereka yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lain, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini.
Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 4

Pasal 15
Barang siapa yang karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 16
(1) Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi.

Pasal 17
(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.
(2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan.

Pasal 18
Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah.

Pasal 19
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.

Pasal 20
Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9< Pasal 10, dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.
Pasal 21
(1) Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.
(2) Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan yang oleh pegawai pencaatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakkan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.
(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada Pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan putusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakkan tersebut di atas.
(4) Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akanmemberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakkan tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan.
Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 5
(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan pada pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahukan tentang maksud mereka.

BAB IV BATALNYA PERKAWINAN

Pasal 22
Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Pasal 23
Yang dapat mengajukan Pembatalan perkawinan yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri.
b. Suami atau isteri.
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

Pasal 24
Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 25
Permihonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.

Pasal 26
(1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasrkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka setelah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 6

Pasal 27
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu telah menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Pasal 28
(1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan.
(2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap :
a. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b. suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
c. Orang-orang ketiga lainnya termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.

BAB V PERJANJIAN PERKAWINAN

Pasal 29
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertilis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.
(2) Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4) Selama perkawinan dilangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 7

BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI-ISTERI

Pasal 30
Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.

Pasal 31
(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3) Suami adalah Kepala Keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

Pasal 32
(1) Suami-isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami-isteri bersama.

Pasal 33
Suami isteri wajib saling saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.

Pasal 34
(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya. (3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.

BAB VII HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN

Pasal 35
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 8

Pasal 36
(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing.

BAB VIII PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA

Pasal 38
Perkawinan dapat putus karena:
a. Kematian,
b. Perceraian dan
c. atas keputusan Pengadilan.

Pasal 39
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.
(3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersebut.

Pasal 40
(1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
(2) Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

Pasal 41
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a. Baik ibuatau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapt memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.
Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 9
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

BAB IX KEDUDUKAN ANAK

Pasal 42
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Pasal 43
(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 44
(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut.
(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.

BAB X HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK

Pasal 45
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan menddidik anak-anak mereka sebaik-baiknya
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Pasal 46
(1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.
(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bnila mereka itu memerlukan bantuannya. Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 10

Pasal 47
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.

Pasal 48
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggandakan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.

Pasal 49
(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saidara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b. Ia berkelakuan buruk sekali.
(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban untuk memberi pemeliharaan kepada anak tersebut.

BAB XI
PERWAKILAN

Pasal 50
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.
(2) Perwakilan itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.

Pasal 51
(1) Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi.
(2) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujurdan berkelakuan baik.
(3) Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan itu.
Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 11
(4) Wali wajib membuat daftar harta benda yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.
(5) Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.

Pasal 52
Terhadap wali berlaku juga pasal 48 Undang-undang ini.

Pasal 53
(1) Wali dapat di cabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam pasal 49 Undang-undang ini.
(2) Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimna dimaksud pada ayat (1) pasal ini oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.

Pasal 54
Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang di bawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga tersebut dengan keputisan Pengadilan, yang bersangkutan dapat di wajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.

BAB XII KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
Bagian Pertama Pembuktian Asal-usul Anak

Pasal 55
(1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang authentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
(2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
(3) atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 12
Bagian Kedua
Perkawinan di Luar Indonesia

Pasal 56
(1) Perkawinan di Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warga negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-undang ini.
(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatat perkawinan tempat tinggal mereka.
Bagian Ketiga Perkawinan Campuran

Pasal 57
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarga-negaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Pasal 58
Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.

Pasal 59
(1) Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun hukum perdata.
(2) Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang perkawinan ini.

Pasal 60
(1) Perkawinan campuran tidak dapat dilaksanakan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh pihak masing-masing telah dipenuhi.
(2) Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.
(3) Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak. Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 13
(4) Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan tersebut ayat (3).
(5) Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.

Pasal 61
(1) Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.
(2) Barang siapa yang melangsungkan perkawinan campuran tampa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1(satu) bulan.
(3) Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetaui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan.

Pasal 62
Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang ini.
Bagian Keempat Pengadilan
Pasal 63
(1) Yang dimaksudkan dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah:
a. Pengadilan agama mereka yang beragama Islam.
b. Pengadilan Umum bagi yang lainnya.
(2) Setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum.

BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 64
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang tejadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah.

Pasal 65
(1) dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan hukum lama maupun berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka berlakulah ketentuan-ketentuan berikut:
Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 14
a. Suami wajib memberikan jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya;
b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi;
c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing.
(2) Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang menurut Undang-undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal ini.

BAB XIV KETENTUAN PENUTUP

Pasal 66
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (burgelijk Wetboek), Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia 1933 No.74, Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op gemeng de Huwelijken S.1898 No. 158), dan Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 67
(1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang pelaksanaanya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan, diatur lebuh lanjut oleh Peraturan Pemerintah.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundang Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta, pada tanggal 2 Januari 1974 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO JENDERAL TNI.
Diundangkan di Jakarta, pada tanggal 2 Januari 1974 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA R.I
SUDHARMONO, SH. MAYOR JENDERAL TNI.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1974 NOMOR 1
Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 15

Minggu, 26 Februari 2012

Proses Wakaf

Syarat-syarat pembuatan sertifikat tanah Wakaf di KUA Desa Perbawati :

Datang ke KUA untuk pembuatan AIW/APAIW dengan membawa dokumen sebagai berikut:

  1. Sertifikat Hak Atas Tanah (bagi yang sudah sertifikat), atau surat-surat pemilikan tanah (termasuk surat pemindahan hak, surat keterangan warisan, girik dll) bagi tanah hak milik yang belum bersertifikat.
  2. Surat Pernyataan Wakaf , asli dan Foto Copy rangkap 4.
  3. Surat Keterangan dari Lurah setempat yang diketahui Camat bahwa tanah tersebut tidak dalam sengketa.
  4. Susunan Pengurus Masjid/Mushalla atau lainnya yang ditanda tangani Ketua dan diketahui oleh Lurah setempat.
  5. Mengisi Formulir Model WK dan WD.
  6. Foto Copy KTP Wakif (yang berwakaf) apabila masih hidup.
  7. Foto Copy KTP para Pengurus yang akan ditetapkan sebagai Nadzir Wakaf.
  8. Foto Copy KTP para Saksi.
  9. Menyerahkan Materai bernilai Rp. 6.000 (enam ribu rupiah) sebanyak 7 lembar.
  10. Menanda tangani Ikrar Wakaf (W1) bagi Wakif yang masih hidup dan Akta Ikrar Wakaf (AIW)/Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf (APAIW) setelah semua surat-surat lengkap dan diketik oleh petugas.
  11. Membuat surat kuasa kepada PPAIW untuk proses pendaftaran ke BPN Jakarta Selatan (blanko ada di KUA).

Ilustrasi Proses Wakaf :

Proses Sertifikasi Tanah Wakaf
(Gambar Searah jarum jam)


  1. Sebuah Keluarga bermusyawarah terlebih dahulu untuk mewakafkan tanah miliknya
  2. Kepala Keluarga (selaku Wakif), bersama Nadzir (Pengurus wakaf) dan saksi datang ke KUA menghadap Kepala KUA selaku Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW)
  3. PPAIW memeriksa persyaratan Wakaf dan selanjutnya mengesahkan Nadzir
  4. Wakif mengucapkan Ikrar Wakaf dihadapan saksi-saksi dan PPAIW, selanjutnya membuat Akta Ikrar Wakaf (AIW) dan salinannya.
  5. Wakif, Nadzir dan saksi pulang dengan membawa AIW (form W.2a).
  6. PPAIW atas nama Nadzir menuju ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dengan membawa berkas permohonan pendaftaran Tanah Wakaf dengan pengantar form W.7
  7. Kantor Pertanahan memproses sertifikat Tanah Wakaf
  8. Kepala Kantor Pertanahan menyerahkan sertifikat tanah wakaf kepada Nadzir, selanjutnya ditunjukkan kepada PPAIW untuk dicatat pada daftar Akta Ikrar Wakaf form W.4

Prosedur Pernikahan dan Rujuk

Di dalam negara RI yang berdasarkan hukum, segala sesuatu yang bersangkut paut dengan penduduk harus dicatat, seperti halnya kelahiran, kematian termasuk juga perkawinan. Perkawinan termasuk erat dengan masalah kewarisan, kekeluargaan sehingga perlu dicatat untuk menjaga agar ada tertib hukum.
Pegawai Pencatat Nikah (PPN) mempunyai kedudukan yang jelas dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia (UU No.22 Tahun 1946 jo UU No. 32 Tahun 1954) sampai sekarang PPN adalah satu-satunya pejabat yang berwenang mencatat perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum agama Islam dalam wilayahnya. Untuk memenuhi ketentuan itu maka setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan PPN karena PPN mempunyai tugas dan kedudukan yang kuat menurut hukum, ia adalah Pegawai Negeri yang diangkat oleh Menteri Agama pada tiap-tiap KUA Kecamatan.
Masyarakat dalam merencanakan perkawinan agar melakukan persiapan sebagai berikut :
  1. Masing-masing calon mempelai saling mengadakan penelitian apakah mereka saling cinta/setuju dan apakah kedua orang tua mereka menyetujui/merestuinya. Ini erat kaitannya dengan surat-surat persetujuan kedua calon mempelai dan surat izin orang tua bagi yang belum berusia 21 tahun .
  2. Masing-masing berusaha meneliti apakah ada halangan perkawinan baik menurut hukum munakahat maupun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Untuk mencegah terjadinya penolakan atau pembatalan perkawinan).
  3. Calon mempelai supaya mempelajari ilmu pengetahuan tentang pembinaan rumah tangga hak dan kewajiban suami istri dsb.
  4. Dalam rangka meningkatkan kualitas keturunan yang akan dilahirkaan calon mempelai supaya memeriksakan kesehatannya dan kepada calon mempekai wanita diberikan suntikan imunisasi tetanus toxoid.
A. Pemberitahuan Kehendak Nikah
Setelah persiapan pendahuluan dilakukan secara matang maka orang yang hendak menikah memberitahukan kehendaknya kepada PPN yang mewilayahi tempat akan dilangsungkannya akad nikah sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum akad nikah
dilangsungkan. Pemberitahuan Kehendak Nikah berisi data tentang nama kedua calon mempelai, hari dan tanggal pelaksanaan akad nikah, data mahar/maskawin dan tempat pelaksanaan upacara akad nikah (di Balai Nikah/Kantor atau di rumah calon mempelai, masjid gedung dll). Pemberitahuan Kehendak Nikah dapat dilakukan oleh calon mempelai, wali (orang tua) atau wakilnya dengan membawa surat-surat yang diperlukan :
I. Perkawinan Sesama WNI
  1. Foto Copy KTP dan Kartu Keluarga (KK) untuk calon Penganten (caten) masing-masing 1 (satu) lembar.
  2. Surat pernyataan belum pernah menikah (masih gadis/jejaka) di atas segel/materai bernilai minimal Rp.6000,- (enam ribu rupiah) diketahui RT, RW dan Lurah setempat.
  3. Surat keterangan untuk nikah dari Kelurahan setempat yaitu Model N1, N2, N4, baik calon Suami maupun calon Istri.
  4. Pas photo caten ukuran 2x3 masing-masing 4 (empat) lembar, bagi anggota ABRI berpakaian dinas.
  5. Bagi yang berstatus duda/janda harus melampirkan Surat Talak/Akta Cerai dari Pengadilan Agama, jika Duda/Janda mati harus ada surat kematian dan surat Model N6 dari Lurah setempat.
  6. Harus ada izin/Dispensasi dari Pengadilan Agama bagi :
  7. --Caten Laki-laki yang umurnya kurang dari 19 tahun;
  8. --Caten Perempuan yang umurnya kurang dari 16 tahun;
  9. --Laki-laki yang mau berpoligami.
  10. Ijin Orang Tua (Model N5) bagi caten yang umurnya kurang dari 21 tahun baik caten laki-laki/perempuan.
  11. Bagi caten yang tempat tinggalnya bukan di wilayah Kec. Pasar Minggu, harus ada surat
  12. Rekomendasi Nikah dari KUA setempat.
  13. Bagi anggota TNI/POLRI dan Sipil TNI/POLRI harus ada Izin Kawin dari Pejabat Atasan/Komandan.
  14. Bagi caten yang akan melangsungkan pernikahan ke luar wilayah Kec. Pasar Minggu harus ada Surat Rekomendasi Nikah dari KUA Desa Perbawati. 
  15. Kedua caten mendaftarkan diri ke KUA Desa Perbawati sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja dari waktu melangsungkan Pernikahan. Apabila kurang dari 10 (sepuluh) hari kerja, harus melampirkan surat Dispensasi Nikah dari Camat Pasar Minggu.
  16. Bagi WNI keturunan, selain syarat-syarat tersebut dalam poin 1 s/d 10 harus melampirkan foto copy Akte kelahiran dan status kewarganegaraannya (K1).
  17. Surat Keterangan tidak mampu dari Lurah/Kepala Desa bagi mereka yang tidak mampu.
II. Perkawinan Campuran
  1. Akte Kelahiran/Kenal Lahir
  2. Surat tanda melapor diri (STMD) dari kepolisian
  3. Surat Keterangan Model K II dari Dinas Kependudukan (bagi yang menetap lebih dari satu tahun)
  4. Tanda lunas pajak bangsa asing (bagi yang menetap lebih dari satu tahun)
  5. Keterangan izin masuk sementara (KIMS) dari Kantor Imigrasi
  6. Foto Copy PasPort
  7. Surat Keterangan dari Kedutaan/perwakilan Diplomatik yang bersangkutan.
  8. Semua surat-surat yang berbahasa asing harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penterjemah resmi.
B. Pemeriksaan Nikah
PPN yang menerima pemberitahuan kehendak nikah meneliti dan memeriksa berkas –berkas yang ada apakah sudah memenuhi syarat atau belum, apabila masih ada kekurangan syarat maka diberitahukan adanya kekurangan tersebut. Setelah itu dilakukan pemeriksaan terhadap calon suami, calon istri dan wali nikahnya yang dituangkan dalam Daftar Pemeriksaan Nikah (Model NB).
Jika calon suami/istri atau wali nikah bertempat tinggal di luar wilayah KUA Kecamatan dan tidak dapat hadir untuk diperiksa, maka pemeriksaannya dilakukan oleh PPN yang mewilayahi tempat tinggalnya. Apabila setelah diadakan pemeriksaan nikah ternyata tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan baik menurut hukum munakahat maupun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku maka PPN berhak menolak pelaksanaan pernikahan dengan cara memberikan surat penolakan beserta alasannya. Setelah pemeriksaan dinyatakan memenuhi syarat maka calon suami, calon istri dan wali nikahnya menandatangani Daftar Pemeriksaan Nikah. Setelah itu yang bersangkutan membayar biaya administrasi pencatatan nikah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
C. Pengumuman Kehendak Nikah
Setelah persyaratan dipenuhi PPN mengumumkan kehendak nikah (model NC) pada papan pengumuman di KUA Kecamatan tempat pernikahan akan dilangsungkan dan KUA Kecamatan tempat tinggal masing-masing calon mempelai.
PPN tidak boleh melaksanakan akad nikah sebelum lampau 10 hari kerja sejak pengumuman, kecuali seperti yang diatur dalam psl 3 ayat 3 PP No. 9 Tahun 1975 yaitu apabila terdapat alasan yang sangat penting misalnya salah seorang calon mempelai akan segera bertugas keluar negeri, maka dimungkinkan yang bersangkutan memohon
dispensasi kepada Camat selanjutnya Camat atas nama Walikota/Bupati memberikan dispensasi.
D. Pelaksanaan Akad Nikah
1.Pelaksanaan Upacara Akad Nikah :
  • di Balai Nikah/Kantor
  • di Luar Balai Nikah : rumah calon mempelai, masjid atau gedung dll.

2.Pemeriksaan Ulang :


Sebelum pelaksanaan upacara akad nikah PPN /Penghulu terlebih dahulu memeriksa/mengadakan pengecekan ulang persyaratan nikah dan administrasinya kepada kedua calon pengantin dan walinya untuk melengkapi kolom yang belum terisi pada waktu pemeriksaan awal di kantor atau apabila ada perubahan data dari hasil pemeriksaan awal. Setelah itu PPN/ Penghulu menetapkan dua orang saksi yang memenuhi syarat.

3.Pemberian izin
Sesaat sebelum akad nikah dilangsungkan dianjurkan bagi ayah untuk meminta izin kepada anaknya yang masih gadis atau anak terlebih dahulu minta/memberikan izin kepada ayah atau wali, dan keharusan bagi ayah meminta izin kepada anaknya untuk menikahkan bila anak berstatus janda.
4.Sebelum pelaksanaan ijab qobul sebagaimana lazimnya upacara akad nikah bisa didahului dengan pembacaan khutbah nikah, pembacaan istighfar dan dua kalimat syahadat
5.Akad Nikah /Ijab Qobul
6.Pelaksanaan ijab qobul dilaksanakan sendiri oleh wali nikahnya terhadap calon mempelai pria, namun apabila karena sesuatu hal wali nikah/calon mempelai pria dapat mewakilkan kepada orang lain yang ditunjuk olehnya.
7.Penandatanganan Akta Nikah oleh kedua mempelai, wali nikah, dua orang saksi dan PPN yang menghadiri akad nikah.
8.Pembacaan Ta’lik Talak
9.Penandatanganan ikrar Ta’lik Talak
10.Penyerahan maskawin/mahar
11.Penyerahan Buku Nikah/Kutipan Akta Nikah.
12.Nasihat perkawinan
13.Do’a penutup.

Profil Kantor Urusan Agama Desa Perbawati

Kantor KUA Desa Perbawati didirikan sejak.....